Sabtu, 06 Maret 2010

Surat Di Atas Kaca

“Coba tebak. Apa ini ?”

Vivi hanya bisa menggeleng.

Ibunya tersenyum saat menggerakkan jari-jari tangannya yang sudah menyusut di depan wajahnya. Menariknya perlahan, mendekat pada cahaya lampu teplok diatas meja. Menggerakkan ujung jarimya memberikan nyawa pada bayangan merpati di sana, di tembok yang biasanya dijadikan jalan raya untuk semut. Kelabu dan selalu lembab saat hujan.

Merpati itu melayang-layang. Kabur bayangannya dan membesar. Lalu mengecil hingga terlihat keriput tangan ibu. Vivi tersenyum, berteriak kecil ketika burung itu beringsut dan menjadi kelinci. Telinganya berombak dan menjalar kesana-kemari. Ibu tertawa dan bayangan kelinci yang cantik hinggap di ujung hidungnya. Terdengar tawa kecil, dan Vivi menarik selimutnya. Menahan bayangan itu.

Jangan menempel disini, menempellah di jendela.

Ibu pun tersenyum. Mematikan lampu. Mengecup anaknya tercinta . Selamat malam, semoga mimpimu bersama merpati dan kelinci. “Ibu sayang kamu, nak. Ibu akan selalu mengikutimu, kemanapun kamu berada. Mendukungmu, apapun yang terjadi. Memberikanmu cinta, kemanapun dirimu bersembunyi.” Cup.

Maka memejamlah mata Vivi.

Hai, bayangan itu tidak pernah pergi. Melebar, membesar. Dan menempel di mana-mana. Menguntit batu, pepohonan bahkan tiang bendera di depan rumah Ibu. Membentuk bayangan ibu di mana-mana.

Dan malam bertambah malam…

Vivi masih terlelap.
Tepat diatas makam Ibunya yang meninggal kemarin pagi.

Jumat, 05 Maret 2010

Bah

Kutatap wajah istriku lekat. Ada rona merah disana. Kerlip air mata menampang di ujung matanya yang jernih. Nyaris bergulir dan jatuh. Kuusap perlahan. Menyekanya dengan ujung baju panjangku.

“Aku tak tega melihatmu menagis.” Ada yang tertumpah disana, mengalir menuruni pipi dan meratakan dirinya dengan tanah. Ujung bajuku menjadi basah.

Kukecup lembut keningnya. Menariknya tangannya perlahan. Mengajaknya duduk di bangku panjang kekayuan, satu-satunya kursi di depan rumah kami. Istriku masih terguguk, tergelak dalam tangisnya. Meratapi alam.

“Kita harus percaya kepada Tuhan yang mencipatakan semuanya. Bulan dan matahari. Angin dan laut. Bintang dan semesta. Dan kita hanya manusia saja.“ Istriku semakin menelungkup, melipat punggungnya diatas bangku panjang. Mengalirkan deras air mata kesungguhan, memahami dirinya sendiri.

Mendadak aku seperti lelaki pikun dalam lautan kesedihannya. Tanpa kata, tanpa ucap. Dan istriku masih saja terlengkung-lengkung..

Tuhan, tolonglah istriku…

Berhari-hari istriku tidak berhenti menaburkan lautan di rumah kami yang mungil, beradak rimba beratap rumpia. Entah sampai kapan, aku tak tahu. Diladang, di jalan, di atas kerbau, bahkan diatas pengapian, air bah itu tetap terpasang.

Kampung kami banjir. Banjir airmata. Air mata yang dihibahkan istriku pada dunianya, duniaku dan dunia kami. Entah airmata siapa yang turut dihibahkan melalui istriku. Aku tidak tahu.

Anak-anak kecil berlarian, berkecipak. Menapis air mata yang menggumpal dalam gelombang bah itu tanpa takut. Hanya mainan saja katanya. Sementara yang lebih dewasa memilih menutup pintu dan jendela. Mengurasnya dengan timba, menahannya dengan buntalan-buntalan pasir yang didatangkan dari seberang.

Tapi bah air mata itu tetap air bah. Menggulung rerumputan, menyebarkan bau kesedihan dalam lakunya. Dan istriku tetap saja melakukannya. Dan aku tetap saja belum mengerti. Aku semakin pikun. Semakin lupa.

Atap rumah kami mulai tertutupi air mata ketika anak terkecilku menarik tanganku perlahan dan berkata dengan lembut.

“Ayah, jangan selingkuh lagi ya…”

Mendadak aku menjadi pikun. Sangat pikun.

(terinspirasi dari cerita sinetron yang aneh-aneh tadi siang…xx)

Mencari Surga

Berhari-hari aku dan ibuku mencari surga. Kami pun biasa begadang setiap malam, hanya untuk mencari surga.

Awalnya hanya sekelabatan cahaya berpendar ditangan seorang pengemis tua yang kami temui di pasar tempo tahun, namun begitu banyak pendar-pendar yang akhirnya dapat kami temui di jalan ini setiap hari. Seperti bubuk berkilauan, tergengggam pun terasa gamang. Tapi terasa bahwa kami siap membangun surga dengan batu bata berpendar ini.

Awalnya kami mengganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, sama seperti kebanyakan orang. Keberadaan pendar-pendar itu hanya pelengkap alam saja. Seperti burung dengan kicauannya, seperti malam dengan bintangnya, atau seperti suami yang tak setia dengan istrinya. Biasa saja. Kami tidak pernah menolehnya, memegang, mencarinya, atau bahkan memikirkannya. Biasa saja. Basi malah. Terlalu.

Mungkin kami telah diingatkan dengan sesuatu yang tidak bisa dijawab dengan akal. Suatu saat, pernah koin kecil ibu jatuh menggelinding sampai tepat di ujung jari pengemis tua, seorang wanita yang paling murah senyum diantara banyak manusia di pasar kumuh itu. Ibu bersikeras mengambilnya kembali, karena baginya koin itu adalah keringat. Haram baginya menyia-nyiakan hasil pribadinya.

Wanita itu terus tersenyum demi ibu yang mengambil koin. Tanah becek membuat ibuku mengendurkan tangannya. Malu terlihat kotor demi koin. Demi pengemis tua yang tersenyum kepadanya. Ibu mengumpat nasib.

Wanita tua tahu. Diambilnya koin berlumpur itu, dan diberikannya kepada ibu.

“Kenapa tidak nenek ambil saja. Ambil saja, nek.”

“Maaf, bu. Saya tidak ingin membeli sesuatu yang tidak saya perlukan.”

“Membeli? Siapa bilang nenek membeli? Bukankah itu koin saya sendiri? Emang nenek punya uang untuk membeli?”, ibuku pun berubah menjadi nanar. Terusik.

“Bu… saya mengambil koin ini bukan untuk diri saya. Demi hak anda dan kewajiban saya sebagai manusia. Kalau saya ambil, maka kehidupan saya akan tergadai dengan keikhlasan ibu… lantas bagaimana saya harus hidup tanpa keikhlasan dari ibu sendiri. Apakah ibu mau bertanggung jawab atas ketidak ikhlasan ibu kepada saya saat menyerahkan koin ini kepada saya? Lantas bagaimana cara ibu membangun sorga? Padahal sorga dibangun dengan keikhlasan tertinggi manusia…”

Ibuku terhenyak. Pendar-pendar itu meluas, melebar menutupi wajah keriput nenek tua. Melebar seperti ledakan bom nuklir. Menghantam tembok, ruko, tatanan daging ayam, susunan shampo, dan kumpulan bunga sedap malam.

Pendar-pendar pun bermunculan dari bau apek buruh pikul, orang buta penjual tiga butir telor yang belum laku-laku dari tadi pagi, anak kecil yang penuh bekas cubitan di tubuhnya, wanita penjaga toko yang dihardik bosnya, tukang becak yang dibayar dengan uang palsu, dan banyak lagi……

Kami takjub, bertrilyun takjub.

Akhirnya kami menjadi pencari batu bata untuk membangun surga. Dan menyerahkannya saat sandal-sandal mulai terjajar rapi di rumah suci. Saat surga mulai mengumandangkan panggilan terkasihnya.

Hadiah Terindah

Aku menghela nafas panjang. Menghadirkan bumi dalam duniaku.

Setelah perjalanan panjang ini, kutemukan dirinya di sini. Di surau kecil, diatas bukit di ujung desa. Lengkap dengan tatanan batu kali yang rapi mengarah dari sungai ke depan surau. Juga padasan, penampu air, dengan bau tanahnya yang khas didepan pintu. Atap rumbia yang menaungi sekotak tempat ini menjadikanku harus berhenti sejenak. Mengambil nafas dan menangkupkan jari, bersyukur kepada-Mu : aku telah menemukannya.

Terterpa sinar matahari, sedikit selendangnya mengaruh biru. Memendarkan warna muda. Tangannya bergerak pelan membaca mantra tersuci dalam duniaku. Mata beningnya berkedip merona, bibirnya mengucap berbisik.

Dia bersimpuh menunggu cahaya, dalam surau. Selendang dan baju panjangnya mengingatkanku pada cinta yang pernah kukabulkan pada seseorang, jauh sebelum dia ada.

"Nak, mari kita pulang. TPA-nya sudah selesai, besok lagi kita kembali."

Dan hasil cinta yang pernah kukabulkan pada seseorang itu mengangguk, dan tersenyum. Mendekap kalam.

"Mari Ayah... "

Rabu, 03 Maret 2010

Tanpa Cerita

Ini cerita tentang seseorang yang tidak memiliki cerita. Bahkan sampai bumi kembali ke orbitnya, cerita itu tetap saja tidak ditemukannya. Pernah dia mampir ke warung depan, coba mencari sesuatu yang bisa mengingatkannya dengan kenangan masa lalu. Hasilnya nihil. Cerita itu tetap saja menghilang.

Pernah juga dia bercerita kepadaku tentang bidadari yang terkapar, karena salah membawa sabit rumput Jaka Tarub. Dan dia mengelak ketika kukatakan bukankah itu ceritamu. Dia hanya menyatakan itu hanya gerakan ujung-ujung jarinya yang terasa dingin dan meminta haknya untuk bergetar. Aku hanya bisa diam.

Mungkin dia lupa, atau pernah ingat sebelumnya, bahwa setiap dirinya berjalan, muncul warna pelangi. Merah, hijau, kuning, coklat, terkadang orange sedikit abu-abu. Terkadang muncul tupai, kodok, mobil, buku…….

Seharusnya dia tahu, cerita itu selalu mengikutinya.
Dia hanya perlu menoleh kebelakang. Itu saja.

Rapat Century

Wah, pusingnya ngurus yang satu ini. Awalnya biasa aja, tapi kemudian semakin tidak terkendali. Aduh, kita pula yang dibikin pusing. Akibat ulah si Century itu pula, Bapak tegap menghadang di depan pintu bersenjata rotan semeter. Tak lupa Ibu bertengger di samping jendela plus sepotong ikan asin bakar. Dan aku, tentu saja bertengger di kamar mandi. Yang penting kami siap bersatu, mencari tahu dimana keberadaan si Century itu sekarang.

Awalnya kami anggap kelakuan Century biasa aja. Lari kesana-kemari. Menggelindingkan beberapa tempat sampah di depan tetangga, sesekali menggaruk cat tembok rumah Pak Kaji, ikut bermain bola bekel dengan Sinta dan Usy meski cuman bisa menampik dan mengejar saja. Semua normal awalnya. Biasa saja. Nggak ada yang perlu dipikirkan.

Tapi lambat laun, semua menjadi tidak terkendali. Awalnya Pak Kaji datang kerumah dengan nada marah, cat tembok rumahnya mengelupas penuh tanda garukan dan meminta Bapak menggantinya. Siangnya Sinta menangis termehek-mehek, bola bekelnya hilang, padahal bola itu buah pemberian nenek tersayang. Usy malah lebih parah, ayahnya mengadu sambil membawa parang, rumahnya hilang terseret bola bekel Sinta.

Malam bergati malam. Hari bertambah hari. Dan daftar laporan kami semakin menggunung. Ada laporan aki-aki kakinya terserempet Century. Balita yang kehilangan kaos kaki. Pandu putranya Pak Putra yang mimisan cendol terus, padahal hal itu tindakan paling tabu di keluarganya. Anton pemilik rental yang mengaku tiba-tiba mobil-mobilnya mengecil. Kemunculan tiba-tiba ribuan ayam di rumah nenek Joko yang tidak bisa bersuara petok-petok. Gambar semua kotak di buku pelajaran anak-anak SD yang berubah menjadi lingkaran. Atau laporan dari perusahaan otobus, colt kecil antar kota dalam kabupaten yang tiba-tiba berubah menjadi bus kota lintas dimensi. Dan semua bersepakat : penyebabnya si Century. Itu pasti.

Kami semakin tidak mengerti. Akhirnya Bapak mengajukan rapat khusus membahas Century ini. Semua keluarga dihadirkan, semua warga diundang. Malam itu semuanya tegang, setegang muka Bapak dan Ibu.

Kami takut, takut masalah ini dikaitkan dengan masalah bank atau politik di tipi-tipi. Kebetulan namanya sama. Kami ingin masalah ini jadi cepet selesai, tanpa disangkut pautkan dengan apapun. Hanya murni masalah Century. Hanya Century. Bukan yang lain.

Tetua kampung menyatakan : baiklah kita tunggu saja. Kalau datang hari ini, berarti semua masalah beres. Kami anggap semua masalah selesai. Kami menganggapnya sebagai niat baik kalian. Dan semuanya bisa kita selesaikan bersama. Bagaimana, setuju?

Kami bersepakat dan menunggu.

Satu menit terasa lama. Lima menit. Aku berkeringat. Setengah jam. Ibu terasa ingin pingsan. Satu jam. Warga mulai gerah.

Tiba-tiba Century datang, menggeleyorkan tubuhnya dari arah samping kolam ikan depan rumah. Dan menelusupkan tubuhnya di atas tumpukan karung goni di pojok ruangan rapat. Cuek bebek tanpa permisi. Tidur mendengkur.

Meong-meong … (habis main dengan Sintaro-terj)

Bener-bener kucing yang nakal.

Matahari

Hari ini hari yang kedelapanpuluh tiga. Hari-hari sunyi, ketika banyak manusia menunggunya datang. Muncul. Sesekali saja. Hanya sekali saja, itu yang dibutuhkan.
Ribuan orang memadati lapang datar ini. Sampah berserakan dimana-mana. Jerami, kantong plastik bahkan pakaian dalam tercecer di mana-mana. Di tanah, atap, ujung sapu, mobil, bahkan menyempil di ranting. Hanya menunggu. Setiap orang tidak lagi sempat memperhatikan apapun di sekitar kakinya. Mata-mata merah terbelalak, kantong mata gembung menghitam muncul pada setiap wajah manusia. Mengantongi dan mengunyah roti, mereka menunggu, menunggu bahkan menunggu pula dalam tidur mereka.

Kenapa hari ini dia tidak datang ? bisik-bisik berserabutan seperti lebah. Mengorek kuping kanan, menelusup telinga kiri, bahkan dahi menjadi hitam karena daki tangan terlalu sering ditempelkan. Yang diharapkan kehadirannya tidak pernah muncul lagi. Seperti dulu.

Seperti dulu. Ya, seperti saat daun mekar dan embun menetes kebawah. Saat tanah masih ingat warna dirinya. Atau saat burung kutilang mengendus-endus betinanya. Seperti dulu.

Tapi sekarang dia mulai malas muncul. Tidak pernah, lebih tepatnya begitu. Satu hari pertama, biasa saja. Orang-orang menganggap, itu hanya rasa malas yang biasa terjadi karena rutinitas. Biasa saja. Toh hanya sekali saja. Bisa dimaafkan, begitu kata orang . Semua akan kembali normal. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Santai saja.

Hari ketujuh. Ini sudah tidak benar. Ada yang aneh. Semua orang berpraduga. Teori banyak bermunculan dimana-mana. Surat kabar, televisi, internet bahkan nyanyian anak-anak telah berganti. Nyanyian kerinduan. Semua takut kehilangan. Pemerintah negara yang paling berkuasa pun sudah menyatakan mengirim tim khusus untuk negosiasi, membujuk bahkan menyogok. Pokoknya dia harus datang. Kalau tidak, maka yang ada hanyalah kerinduan yang menempel di planet ini.

Hari ketiga puluh. Utusan yang dikirim tidak pernah kembali. Tidak ada laporan. Tidak ada kata sambutan atau yang sejenisnya. Semua tiba-tiba menjadi diam. Bisu. Sunyi. Dibanyak tempat, orang-orang mulai menyangkal teori ketidakhadirannya. Wilayah logika as-is menjadi tertutup hanya karena satu pernyataan tak terbantahkan : dia telah bunuh diri, menggantung di langit. Maka selesailah para ilmuwan memperbincangkan semuanya. Sungguh, kendali mereka atas imajinasi tidak akan pernah berhasil.

Hari ke delapanpuluh tiga setelah “kematiannya”, semua orang berharap bahwa kerinduan itu akan menengoknya. Mengumpulkan seluruh keluarganya, bersama-sama menunggu dan berbincang tentang keajaiban masa lalu. Memohon kepada anak-anaknya, jangan pernah melupakan setiap jengkal tanah. Setiap rimbun dedaunan. Diatasnya ada tanggung jawab hati, agar peristiwa ini tidak perlu lagi terjadi.

………………………………………

Di pojok sorga, Matahari sedang menggigil kedinginan. Sudah delapan puluh tiga hari ini dia masuk angin. Mual dan bersendawa.

Huek… cuh, huek…

Seorang malaikat disampingnya terlihat kesulitan mencari es batu. Kompres matahari tidak termasuk dalam daftar bawaan Malaikat yang lugu tersebut. Biasanya dia mencarinya di ujung dunia sana. Dulu banyak, berkepal-kepal. Sekarang sudah tidak ada. Susah dan jarang. Sekepil saja. Itupun kalau beruntung bisa menemukan.
Mengeluh, Malaikat itupun hanya bisa mengelus dada memandang isi termosnya yang kosong.

“ Kasihan Matahari…”

Selasa, 02 Maret 2010

Semua orang menghilang

Kenapa semua orang seperti menghilang saja. Lenyap, bahkan bau sandal pun tidak tercium lagi. Rupanya menghilang mulai menjadi kegiatan rutin warga kampung ini.
Ah, tidak semua menghilang kok. Kusisiri pelosok kampung ini dan kutemukan gadis bermata sendu yang menjereng pakaian cucinya. Berpakaian kebaya dan membawa segumpal pakaian dalam timba plastik bertuliskan anti pecah yang malah retak-retak disisi sekitarnya.

Tidak sadar dan terperanjat ketika aku mendekatinya.

“Maaf, mengganggu. Kemana ya orang-orang? Kok tidak ada kehidupan disini terasa. Hanya mbaknya saja?”, aku harus memasang muka manis tentu saja…

“Oh, maaf mas. Mas baru ya disini? Pertanyaannya sering saya dengar jika ada pendatang baru.” Air pun muncrat-muncrat, memaksaku berjngkat ke samping. Gadis itu tersenyum… “Maaf, mas.”

Aku malah mendongakkan wajahku kedepan. Pertanyaan ku tidak terjawab.

“Kampung ini semua penduduknya menikah mas.”

Apa salahnya dengan menikah?

“Menikah dengan lebih dari satu orang. Dua atau tiga orang.”

Apa yang salah? Poligami maksudnya?

“Yup!”

Nggak ada yang melarang kan? Lantas apa hubungannya dengan hilangnya semua orang?

Gadis itu tertawa. Seperi menertawakan kebodohanku. Tiba-tiba aku merasa, wajahnya terlalu cantik.

“Mas tahu kenapa semua orang tidak ada. Karena Mas mencarinya diluar rumah, mereka didalam rumah, mas. Membagi waktunya dengan para istri mereka. Sehari semalam semua istri harus terbagi. Kalo ada yang menjatah, maka istri-istri yang lain pun akan ikut serta.”

Masih bingung jawabannya. Sejenak otak mungilku bekerja dengan ganas mencari hubungan antara waktu, malam, istri dan hilang. Terpencar kesana-kemari.

Jadi gadis cantik ini sudah menikah dong?

“Belum…mas”

Kenapa? Wajah cantik, dan sepertinya baik….

“Tidak ada yang bersedia mas. Tidak ada yang mau…” sambil tersenyum manis……

Amboiiii… aneh nian…. Kenapa?

Belum sempat dijawabnya, tiba-tiba tanda titik membawa gadis cantik berkebaya itu ke langit. Hilang menghilang. Menyekat awan.

Ceritanya berakhir menjadi tidak menentu. Digantung di awan pula. Ceritanya menjadi tidak bermutu. Hambar.

Aku pun mengutuk penulis cerita ini menjadi kodok.

(Penulis:”Yeee, nggak mempan. Kutukannya nggak laku. Yeee….)

SAKTI

Pendekar ampuh ?

Preman paling mematikan ?

atau orang yang paling berkuasa saat ini ?

Boss mafia dengan sekarung peluru di tangannya?

Hannibal ?

Aku tidak pernah takut dengan siapapun. Siapapun dia, hadirkan saja. No compromise, everything I gasak. Sikat ancur!

Pernah ada yang datang. Berwajah garang dengan barisan bekas luka goresan pedang di sepanjang bahu kanan. Bekas pertempuran yang melegenda, kata orang-orang di pasar. Seperti kisah Anoman menghadang Sinta. Heroik ! Hebat, dan sangat mengagumkan. Tapi yang kutahu, dia bukan Anoman. Hanya Rahwana saja. Menggondol isteri tetangganya sendiri. Kabur ke desa sebelah, dan ditemukan bercinta di tengah ladang pak lurah. Maka mengamuklah Anoman, si suami. Dan blar, perang pun dimulai.

Suami mati kena tekanan batin. Rahwana menang dan bebas menggondol lagi. Apa saja digondol. Apa saja! Cewek, sapi, ayam, teve, bahkan jemuran tak berdosa.

Hari ini, akhirnya dia tiba di depanku. Semua orang beringsut menjauh. Ada yang pura-pura dipanggil anaknya. Ada yang terkena demam dadakan. Ada pula yang beringsut pelan-pelan seperti cecak, dan hap, menghilang seperti jin. Jurus menghilang sepertinya sebuah jurus ampuh yang hanya dapat digunakan ketika berhadapan dengan orang ini.

Tapi aku tetap gagah. Menatapnya dengan tatapan mata santai. Tanpa takut, tanpa dag dig dug.

“Ada apa? Seperti biasa?” tanyaku. Ya, seperti biasanya. Berperang, menggondol istri orang ……

“Ya ! Seperti biasa!”, jawaban nanar keluar dari mulutnya. Menghela nafas panjang dan menyingkap lengan bajunya ke atas. Ups! Matanya melihat kanan kiri.
Aku siap. Sangat siap malah.

Kuambil kain yang sudah kupersiapkan sejak kemarin. Ini kain yang ampuh. Kudapat dari nenek moyang dan kemungkanan juga dipakai oleh Aji Saka saat mengulur Dewatacengkar ke lautan sana. Dan menunggu saat yang tepat.

Saat ada kesempatan, kulingkarkan kain itu ke lehernya. Ciat! Eh, dia hanya menggeleng sedikit ke kanan. Secepat kilat kubuat simpul pada ujung kain. Hup! Dia tidak bergerak ! ampuh kain ini terbukti sudah.

Saat dia putar kakinya - aku lihat itu karena mataku sangat awas – secepat kilat kuambil senjata lain di belakangku. Senjata khusus yang dipersiapkan oleh manusia sakti di negeri seberang sana. Terlihat mengkilat, menyala tajam dengan kekuatan dahsyat.

Dia hanya mengerling kearahku.

Hah, ampuh juga senjata ini. Baru dipegang sudah memancarkan aura mengerikan. Takut dia!

Pelan-pelan kudekati bahu penuh goresan pedang itu. Dengan cepat, hup, kupegang kepalanya saat ada kesempatan. Dan senjataku mulai beraksi.

Crak, crak! Crak!

Ha ha ha, akulah si tukang cukur.

Dan aku menang. Kepala goresan pedang menjadi gundul mengkilap.

Bagus-bagus… dia acungkan jempolnya.

Ternyata...

Lima Ribu!

Tini, Tina atau siapapun namanya dia, malam ini tidak beringsut. Menengokpun tidak. Tanganku sampai pegal mengibaskan lembaran limaribuan di depan matanya. Tangannya kokoh memegang tanah.

“Limapuluh ribu, Sayang! Serius nih. Jangan sampai kutarik kembali uangnya.”
Tetap saja dia tak berkedip. Menengokpun tidak.

Kuelus tangannya. “ Ayolah , hanya malam ini saja. Numpang saja. Gesek-gesek itu, iya, yang itu.” Ah brengsek. Tetap saja dia tidak mempan dirayu.
Aku makin naik darah. Kuacak-acak rambutnya. Kupelintir jari kakinya. Kugigit pundaknya. Hrgh!

Dia hanya menggeser badannya sedikit. Lima mili saja.

Wanita yang aneh. Membuatku penasaran. Kesalahan lelaki adalah uang dan kesalahan wanita adalah lelaki dan kombinasi yang tepat adalah lelaki tanpa uang yang tercengkeram wanita yang menginginkan uang. Klise. Hanya seperti itu saja, dan cinta akan berakhir dalam lima menit.

Lelah. Aku terduduk lesu, selonjorkan kaki di sampingnya. Menarik nafas panjang dan dalam.

Matakupun berkunang-kunang. Rasa panas menjalar di atas kepalaku. Memberiku sensasi tak menentu. Aku lelah …. Sangat lelah. Lemas tak tertahankan lagi. Dan melihat Zeni tersayangku, adalah bagian paling menyakitkan yang kualami malam ini. Aku tergeletak, menyerahkan nasibku pada rerumputan. Mengeluhkan nafas panjang.
Pergi, pergilah sana, Zen. Jangan bermain dengan nasib karena seberapapun engkau berjuang untuk berubah, jalanmu telah ditentukan. Kesempatanmu hanya sekali saja. Namun setidaknya resiko nasib, engkaulah yang menentukan keberadaannya. Disanalah Tuhan berkuasa, dan Tuhan selalu merencanakan hadiah terbaik di setiap hari ulang tahunmu.

Kugerak-gerakan telunjuk jariku di ujung jari kakimu, Zen.
Untunglah aku tidak pernah tahu kapan aku lahir. Dan setiap hari Tuhan memberikan hadiah terbaiknya untukku. Aku lahir setiap hari. Kurasa.

Mataku terasa mengecil dan menutup. Aku mengantuk malam ini, sayang. Dibawah kakimu. Ijinkan aku tidur sebentar saja. Untukmu malam ini. Bersamamu.

--------------------

“ Orang gilanya di sana. Tidur dibawah patung wanita itu! Tangkap dia, jangan biarkan mengotori lingkungan kita. Ayo !”
“Siap, Pak! Man,Sarto, angkat gembel ini ke mobil. Pastikan dia dan yang lainnya tidak lari!”
“Siap pak! Ayo, Sar, angkut lagi!”

------------

Hatiku sakit. Sangat sakit. Sakit.

Sayang, engkau tidak peduli kepadaku. Ternyata.

Aku tertawa. Inilah hidupku.
Hanya wajah garang satpol pepe ini yang ramah saat membenturkan kepalaku di mobil. Uh!

Ah, Tuhan telah memberikan hadiah terbaiknya kepadaku hari ini. Menyadarkanku bahwa surga tidak berada di bawah telapak kakimu, sayang.