Jumat, 05 Maret 2010

Mencari Surga

Berhari-hari aku dan ibuku mencari surga. Kami pun biasa begadang setiap malam, hanya untuk mencari surga.

Awalnya hanya sekelabatan cahaya berpendar ditangan seorang pengemis tua yang kami temui di pasar tempo tahun, namun begitu banyak pendar-pendar yang akhirnya dapat kami temui di jalan ini setiap hari. Seperti bubuk berkilauan, tergengggam pun terasa gamang. Tapi terasa bahwa kami siap membangun surga dengan batu bata berpendar ini.

Awalnya kami mengganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, sama seperti kebanyakan orang. Keberadaan pendar-pendar itu hanya pelengkap alam saja. Seperti burung dengan kicauannya, seperti malam dengan bintangnya, atau seperti suami yang tak setia dengan istrinya. Biasa saja. Kami tidak pernah menolehnya, memegang, mencarinya, atau bahkan memikirkannya. Biasa saja. Basi malah. Terlalu.

Mungkin kami telah diingatkan dengan sesuatu yang tidak bisa dijawab dengan akal. Suatu saat, pernah koin kecil ibu jatuh menggelinding sampai tepat di ujung jari pengemis tua, seorang wanita yang paling murah senyum diantara banyak manusia di pasar kumuh itu. Ibu bersikeras mengambilnya kembali, karena baginya koin itu adalah keringat. Haram baginya menyia-nyiakan hasil pribadinya.

Wanita itu terus tersenyum demi ibu yang mengambil koin. Tanah becek membuat ibuku mengendurkan tangannya. Malu terlihat kotor demi koin. Demi pengemis tua yang tersenyum kepadanya. Ibu mengumpat nasib.

Wanita tua tahu. Diambilnya koin berlumpur itu, dan diberikannya kepada ibu.

“Kenapa tidak nenek ambil saja. Ambil saja, nek.”

“Maaf, bu. Saya tidak ingin membeli sesuatu yang tidak saya perlukan.”

“Membeli? Siapa bilang nenek membeli? Bukankah itu koin saya sendiri? Emang nenek punya uang untuk membeli?”, ibuku pun berubah menjadi nanar. Terusik.

“Bu… saya mengambil koin ini bukan untuk diri saya. Demi hak anda dan kewajiban saya sebagai manusia. Kalau saya ambil, maka kehidupan saya akan tergadai dengan keikhlasan ibu… lantas bagaimana saya harus hidup tanpa keikhlasan dari ibu sendiri. Apakah ibu mau bertanggung jawab atas ketidak ikhlasan ibu kepada saya saat menyerahkan koin ini kepada saya? Lantas bagaimana cara ibu membangun sorga? Padahal sorga dibangun dengan keikhlasan tertinggi manusia…”

Ibuku terhenyak. Pendar-pendar itu meluas, melebar menutupi wajah keriput nenek tua. Melebar seperti ledakan bom nuklir. Menghantam tembok, ruko, tatanan daging ayam, susunan shampo, dan kumpulan bunga sedap malam.

Pendar-pendar pun bermunculan dari bau apek buruh pikul, orang buta penjual tiga butir telor yang belum laku-laku dari tadi pagi, anak kecil yang penuh bekas cubitan di tubuhnya, wanita penjaga toko yang dihardik bosnya, tukang becak yang dibayar dengan uang palsu, dan banyak lagi……

Kami takjub, bertrilyun takjub.

Akhirnya kami menjadi pencari batu bata untuk membangun surga. Dan menyerahkannya saat sandal-sandal mulai terjajar rapi di rumah suci. Saat surga mulai mengumandangkan panggilan terkasihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar