Rabu, 03 Maret 2010

Matahari

Hari ini hari yang kedelapanpuluh tiga. Hari-hari sunyi, ketika banyak manusia menunggunya datang. Muncul. Sesekali saja. Hanya sekali saja, itu yang dibutuhkan.
Ribuan orang memadati lapang datar ini. Sampah berserakan dimana-mana. Jerami, kantong plastik bahkan pakaian dalam tercecer di mana-mana. Di tanah, atap, ujung sapu, mobil, bahkan menyempil di ranting. Hanya menunggu. Setiap orang tidak lagi sempat memperhatikan apapun di sekitar kakinya. Mata-mata merah terbelalak, kantong mata gembung menghitam muncul pada setiap wajah manusia. Mengantongi dan mengunyah roti, mereka menunggu, menunggu bahkan menunggu pula dalam tidur mereka.

Kenapa hari ini dia tidak datang ? bisik-bisik berserabutan seperti lebah. Mengorek kuping kanan, menelusup telinga kiri, bahkan dahi menjadi hitam karena daki tangan terlalu sering ditempelkan. Yang diharapkan kehadirannya tidak pernah muncul lagi. Seperti dulu.

Seperti dulu. Ya, seperti saat daun mekar dan embun menetes kebawah. Saat tanah masih ingat warna dirinya. Atau saat burung kutilang mengendus-endus betinanya. Seperti dulu.

Tapi sekarang dia mulai malas muncul. Tidak pernah, lebih tepatnya begitu. Satu hari pertama, biasa saja. Orang-orang menganggap, itu hanya rasa malas yang biasa terjadi karena rutinitas. Biasa saja. Toh hanya sekali saja. Bisa dimaafkan, begitu kata orang . Semua akan kembali normal. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Santai saja.

Hari ketujuh. Ini sudah tidak benar. Ada yang aneh. Semua orang berpraduga. Teori banyak bermunculan dimana-mana. Surat kabar, televisi, internet bahkan nyanyian anak-anak telah berganti. Nyanyian kerinduan. Semua takut kehilangan. Pemerintah negara yang paling berkuasa pun sudah menyatakan mengirim tim khusus untuk negosiasi, membujuk bahkan menyogok. Pokoknya dia harus datang. Kalau tidak, maka yang ada hanyalah kerinduan yang menempel di planet ini.

Hari ketiga puluh. Utusan yang dikirim tidak pernah kembali. Tidak ada laporan. Tidak ada kata sambutan atau yang sejenisnya. Semua tiba-tiba menjadi diam. Bisu. Sunyi. Dibanyak tempat, orang-orang mulai menyangkal teori ketidakhadirannya. Wilayah logika as-is menjadi tertutup hanya karena satu pernyataan tak terbantahkan : dia telah bunuh diri, menggantung di langit. Maka selesailah para ilmuwan memperbincangkan semuanya. Sungguh, kendali mereka atas imajinasi tidak akan pernah berhasil.

Hari ke delapanpuluh tiga setelah “kematiannya”, semua orang berharap bahwa kerinduan itu akan menengoknya. Mengumpulkan seluruh keluarganya, bersama-sama menunggu dan berbincang tentang keajaiban masa lalu. Memohon kepada anak-anaknya, jangan pernah melupakan setiap jengkal tanah. Setiap rimbun dedaunan. Diatasnya ada tanggung jawab hati, agar peristiwa ini tidak perlu lagi terjadi.

………………………………………

Di pojok sorga, Matahari sedang menggigil kedinginan. Sudah delapan puluh tiga hari ini dia masuk angin. Mual dan bersendawa.

Huek… cuh, huek…

Seorang malaikat disampingnya terlihat kesulitan mencari es batu. Kompres matahari tidak termasuk dalam daftar bawaan Malaikat yang lugu tersebut. Biasanya dia mencarinya di ujung dunia sana. Dulu banyak, berkepal-kepal. Sekarang sudah tidak ada. Susah dan jarang. Sekepil saja. Itupun kalau beruntung bisa menemukan.
Mengeluh, Malaikat itupun hanya bisa mengelus dada memandang isi termosnya yang kosong.

“ Kasihan Matahari…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar