Sabtu, 06 Maret 2010

Surat Di Atas Kaca

“Coba tebak. Apa ini ?”

Vivi hanya bisa menggeleng.

Ibunya tersenyum saat menggerakkan jari-jari tangannya yang sudah menyusut di depan wajahnya. Menariknya perlahan, mendekat pada cahaya lampu teplok diatas meja. Menggerakkan ujung jarimya memberikan nyawa pada bayangan merpati di sana, di tembok yang biasanya dijadikan jalan raya untuk semut. Kelabu dan selalu lembab saat hujan.

Merpati itu melayang-layang. Kabur bayangannya dan membesar. Lalu mengecil hingga terlihat keriput tangan ibu. Vivi tersenyum, berteriak kecil ketika burung itu beringsut dan menjadi kelinci. Telinganya berombak dan menjalar kesana-kemari. Ibu tertawa dan bayangan kelinci yang cantik hinggap di ujung hidungnya. Terdengar tawa kecil, dan Vivi menarik selimutnya. Menahan bayangan itu.

Jangan menempel disini, menempellah di jendela.

Ibu pun tersenyum. Mematikan lampu. Mengecup anaknya tercinta . Selamat malam, semoga mimpimu bersama merpati dan kelinci. “Ibu sayang kamu, nak. Ibu akan selalu mengikutimu, kemanapun kamu berada. Mendukungmu, apapun yang terjadi. Memberikanmu cinta, kemanapun dirimu bersembunyi.” Cup.

Maka memejamlah mata Vivi.

Hai, bayangan itu tidak pernah pergi. Melebar, membesar. Dan menempel di mana-mana. Menguntit batu, pepohonan bahkan tiang bendera di depan rumah Ibu. Membentuk bayangan ibu di mana-mana.

Dan malam bertambah malam…

Vivi masih terlelap.
Tepat diatas makam Ibunya yang meninggal kemarin pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar