Selasa, 02 Maret 2010

Semua orang menghilang

Kenapa semua orang seperti menghilang saja. Lenyap, bahkan bau sandal pun tidak tercium lagi. Rupanya menghilang mulai menjadi kegiatan rutin warga kampung ini.
Ah, tidak semua menghilang kok. Kusisiri pelosok kampung ini dan kutemukan gadis bermata sendu yang menjereng pakaian cucinya. Berpakaian kebaya dan membawa segumpal pakaian dalam timba plastik bertuliskan anti pecah yang malah retak-retak disisi sekitarnya.

Tidak sadar dan terperanjat ketika aku mendekatinya.

“Maaf, mengganggu. Kemana ya orang-orang? Kok tidak ada kehidupan disini terasa. Hanya mbaknya saja?”, aku harus memasang muka manis tentu saja…

“Oh, maaf mas. Mas baru ya disini? Pertanyaannya sering saya dengar jika ada pendatang baru.” Air pun muncrat-muncrat, memaksaku berjngkat ke samping. Gadis itu tersenyum… “Maaf, mas.”

Aku malah mendongakkan wajahku kedepan. Pertanyaan ku tidak terjawab.

“Kampung ini semua penduduknya menikah mas.”

Apa salahnya dengan menikah?

“Menikah dengan lebih dari satu orang. Dua atau tiga orang.”

Apa yang salah? Poligami maksudnya?

“Yup!”

Nggak ada yang melarang kan? Lantas apa hubungannya dengan hilangnya semua orang?

Gadis itu tertawa. Seperi menertawakan kebodohanku. Tiba-tiba aku merasa, wajahnya terlalu cantik.

“Mas tahu kenapa semua orang tidak ada. Karena Mas mencarinya diluar rumah, mereka didalam rumah, mas. Membagi waktunya dengan para istri mereka. Sehari semalam semua istri harus terbagi. Kalo ada yang menjatah, maka istri-istri yang lain pun akan ikut serta.”

Masih bingung jawabannya. Sejenak otak mungilku bekerja dengan ganas mencari hubungan antara waktu, malam, istri dan hilang. Terpencar kesana-kemari.

Jadi gadis cantik ini sudah menikah dong?

“Belum…mas”

Kenapa? Wajah cantik, dan sepertinya baik….

“Tidak ada yang bersedia mas. Tidak ada yang mau…” sambil tersenyum manis……

Amboiiii… aneh nian…. Kenapa?

Belum sempat dijawabnya, tiba-tiba tanda titik membawa gadis cantik berkebaya itu ke langit. Hilang menghilang. Menyekat awan.

Ceritanya berakhir menjadi tidak menentu. Digantung di awan pula. Ceritanya menjadi tidak bermutu. Hambar.

Aku pun mengutuk penulis cerita ini menjadi kodok.

(Penulis:”Yeee, nggak mempan. Kutukannya nggak laku. Yeee….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar