Jumat, 05 Maret 2010

Bah

Kutatap wajah istriku lekat. Ada rona merah disana. Kerlip air mata menampang di ujung matanya yang jernih. Nyaris bergulir dan jatuh. Kuusap perlahan. Menyekanya dengan ujung baju panjangku.

“Aku tak tega melihatmu menagis.” Ada yang tertumpah disana, mengalir menuruni pipi dan meratakan dirinya dengan tanah. Ujung bajuku menjadi basah.

Kukecup lembut keningnya. Menariknya tangannya perlahan. Mengajaknya duduk di bangku panjang kekayuan, satu-satunya kursi di depan rumah kami. Istriku masih terguguk, tergelak dalam tangisnya. Meratapi alam.

“Kita harus percaya kepada Tuhan yang mencipatakan semuanya. Bulan dan matahari. Angin dan laut. Bintang dan semesta. Dan kita hanya manusia saja.“ Istriku semakin menelungkup, melipat punggungnya diatas bangku panjang. Mengalirkan deras air mata kesungguhan, memahami dirinya sendiri.

Mendadak aku seperti lelaki pikun dalam lautan kesedihannya. Tanpa kata, tanpa ucap. Dan istriku masih saja terlengkung-lengkung..

Tuhan, tolonglah istriku…

Berhari-hari istriku tidak berhenti menaburkan lautan di rumah kami yang mungil, beradak rimba beratap rumpia. Entah sampai kapan, aku tak tahu. Diladang, di jalan, di atas kerbau, bahkan diatas pengapian, air bah itu tetap terpasang.

Kampung kami banjir. Banjir airmata. Air mata yang dihibahkan istriku pada dunianya, duniaku dan dunia kami. Entah airmata siapa yang turut dihibahkan melalui istriku. Aku tidak tahu.

Anak-anak kecil berlarian, berkecipak. Menapis air mata yang menggumpal dalam gelombang bah itu tanpa takut. Hanya mainan saja katanya. Sementara yang lebih dewasa memilih menutup pintu dan jendela. Mengurasnya dengan timba, menahannya dengan buntalan-buntalan pasir yang didatangkan dari seberang.

Tapi bah air mata itu tetap air bah. Menggulung rerumputan, menyebarkan bau kesedihan dalam lakunya. Dan istriku tetap saja melakukannya. Dan aku tetap saja belum mengerti. Aku semakin pikun. Semakin lupa.

Atap rumah kami mulai tertutupi air mata ketika anak terkecilku menarik tanganku perlahan dan berkata dengan lembut.

“Ayah, jangan selingkuh lagi ya…”

Mendadak aku menjadi pikun. Sangat pikun.

(terinspirasi dari cerita sinetron yang aneh-aneh tadi siang…xx)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar